Categories
Hidup baru Hidup Sehari-Hari Pertobatan Harian Pertumbuhan Rohani

Si Pemburuk

Oh, I feel good in making everything look bad. ;)
Oh, I feel good in making everything look bad.

Apakah pembaca punya teman/anggota keluarga/kenalan yang selalu punya hal buruk untuk dibicarakan tentang orang lain? Sebut saja orang itu si pemburuk—karena dia membuat siapa saja kelihatan buruk. “Si A orangnya baik ya, mau bantuin temen yang lagi susah,” kata kita. “Iya sih, tapi lu ga tau aja gimana dia kalo lagi marah,” kata si pemburuk; dan dimulailah sesi rumpi. Atau tentang seorang pengkhotbah di gereja, “Khotbahnya bagus ya!” ujar kita. Si pemburuk menyahut dengan nyinyir, “Asal dia sendiri bisa praktekin khotbahnya aja.”

Ada orang-orang yang *puji Tuhan* lahir dengan pikiran yang positif, optimis, selalu melihat segala sesuatu dari sisi baiknya, layaknya orang Jawa yang konon sering bilang, “Untung..” Kalau kecelakaan dan harus amputasi kaki, dengan legowo dia bilang, “Untung yang diamputasi bukan kepalanya.” Senang sekali hidup seperti itu, selalu ada yang disyukuri. Sebaliknya, ada juga orang-orang yang memelas, kecenderungan pikirannya negatif terus. Bahkan di tengah pegunungan yang adem, ayem, tenang, pemandangan indah, mereka mengeluh dan bilang, “Enakan di pantai.” Bayangkan apa yang mereka lihat pada diri sesama mereka, manusia yang tidak sempurna.

Susah ya, hidup dengan orang seperti ini. Apalagi kalau orang ini adala suami/isteri kita—layaknya pikul salib seumur hidup. Tapi berhubung kita ga bisa mengubah orang lain, dan kita juga tidak bertanggung jawab atas hidup mereka tetapi atas hidup kita sendiri, kita perlu introspeksi diri: Jangan-jangan saya termasuk golongan orang yang diam-diam diberi gelar “si pemburuk” oleh orang lain?

Bagaimana saya melihat diri sendiri?

mirrorLoh, kok mulai dari sini? Iya dong, kan Tuhan Yesus bilang, “Apa yang diucapkan mulut, meluap dari hati.” Jadi, bila orang begitu mahirnya menemukan keburukan dari segala sesuatu, itu sebenarnya mencerminkan isi hatinya.

Banyak orang merasa diri “ga jelek-jelek amat.” “Emang sih, saya ga sempurna,” demikian kata orang, “tapi saya bukan orang jahat.” Sayangnya Alkitab ga setuju dengan pernyataan itu. “Betapa liciknya hati,” kata nabi Yeremia. “Tidak ada yang benar, seorangpun tidak,” kata pemazmur. “Semua manusia telah berbuat dosa dan telah kehilangan kemuliaan Allah,” demikian tulis rasul Paulus. Kita semua telah menerima satu putusan dari pengadilan ilahi: Bersalah.

Dan, dibanding semua orang yang mengenal kita, kalau kita mau jujur pada diri sendiri, kita akan mengakui bahwa memang benar, hati kita jahat. Kitalah yang paling tahu kekurangan kita. Kitalah yang paling tahu niat hati kita. Kitalah yang paling tau isi pikiran kita. Dan kata-kata kita yang negatif menjadi kesaksian bahwa: Kita orang berdosa. Lebih jauh lagi, orang-orang yang suka mengecilkan, menjelekkan, dan mencari-cari kesalahan orang lain, harus bertanya kepada dirinya sendiri, “Jangan-jangan seperti itulah saya memandang diri sendiri: kecil, penuh kekurangan dan kesalahan.”

Tentu saja ga ada manusia yang suka mengaku salah. Namun Amsal berkata, “Orang yang mengakui pelanggarannya dan meninggalkannya, akan disayangi.” Kalau kita mau berubah, hal itu harus dimulai dari pengakuan akan kekurangan dan kesalahan kita.

Aku anak Raja!

anak rajaApa kata firman Tuhan tentang orang-orang yang bertobat dan percaya kepada Yesus? Kepada mereka dikaruniakan Roh Tuhan, dan mereka disebut anak-anak-Nya! Betapa berbedanya cara kita memandang sesama orang percaya kalau kita menyadari bahwa mereka adalah anak-anak Tuhan Yang Mahamulia. Mereka bukan “orang biasa”; mereka adalah orang-orang yang dikasihi Tuhan—begitu dikasihi, hingga Yesus Kristus, Anak Allah, mati demi keselamatan mereka! Dan sekalipun sekarang kita dan mereka belum sempurna dalam hal karakter, tapi Tuhan sedang memimpin kita menuju ke sana.

Dengan kacamata yang baru ini, kita memandang dunia dengan cara yang berbeda. Orang-orang di sekitar kita bukan lagi orang-orang yang menyebalkan, mengesalkan, dan penuh kekurangan. Mereka sekarang adalah orang-orang yang dikasihi Tuhan, anak-anak-Nya, yang penuh potensi untuk melayani Dia dan menuju pada kesempurnaan.

Kasih, kegenapan hukum

help2Menarik sekali bahwa Tuhan Yesus menempatkan kasih kepada sesama sejajar dengan kasih kepada Tuhan (bukan sama, tapi sejajar—artinya, kedua-duanya imperatif). Yohanes menjelaskan hal ini dengan menyatakan bahwa tidak mungkin orang yang tidak mengasihi manusia yang kelihatan, bisa mengasihi Tuhan yang tidak kelihatan.

Kalimat Tuhan Yesus adalah, “Kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri.” Siapa orang yang paling sering kita maklumi kekurangannya, maafkan kesalahannya, dan tetap kita perhatikan dengan tulus sekalipun dia berbuat salah lagi dan lagi? Jawabannya sudah tentu: diri sendiri. Ga mungkin kan, kita ngomong pada diri sendiri, “Karena kesalahan lu terlalu banyak, gw ga kasi lu makan, mandi, ganti baju, kerja, pokoknya gw tiduran terus aja di kasur sampe mati!” Kita tetap mengasihi diri kita sendiri, mengurusnya dengan baik, apapun kesalahan yang kita lakukan. Dan, teman-teman, Tuhan menghendaki kita berbuat hal yang sama pada orang lain: maklumi kekurangan mereka, ampuni kesalahan mereka, dan jangan berhenti mengasihi mereka, sekalipun mereka memang banyak kekurangan. Jangan lupa, Tuhan sudah mengasihi kita lebih dulu, di dalam segala kekurangan dan kesalahan kita.

“Kekang lidahmu!”

thinkingDalam Perjanjian Lama, kitab yang terkenal sebagai kitab hikmat adalah Amsal. Dalam Perjanjian Baru, padanannya adalah surat Yakobus. Dan kedua-duanya memberikan perhatian besar pada perkataan. Tidak mengherankan, karena sebagian besar kesalahan kita dalam hidup ini pasti berupa salah ngomong.

Yakobus memberi pemahaman demikian: “Barangsiapa menyebut dirinya beribadah namun tidak mengekang lidahnya (artinya, ngomong sembarangan, termasuk tentang orang lain), ia menipu dirinya sendiri, dan sia-sialah ibadahnya.” Dari peringatan yang keras ini kita belajar bahwa mulut harus diatur. Sama seperti atlet melatih tungkai-tungkai tubuhnya supaya bisa bergerak sesuai yang ia inginkan, mulut harus dilatih untuk mengatakan hanya hal-hal yang berguna.

Jadi kalau kita sudah mengakui dosa kita di hadapan Tuhan, memohon pengampunan, meminta kemampuan mengendalikan kata-kata kita, maka ini waktunya kita praktek. Berjalanlah dengan iman dan selalu pertimbangkan dahulu apa yang hendak kita katakan.

Lu sendiri gimana?

Nah, waktunya kesaksian pribadi. Kalo dilihat dari sifat orok, aku sebenernya orang yang termasuk golongan “si pemburuk”. Dulu aku hobi mengkritik dan menghina segala sesuatu dan semua orang; kayaknya gampaang bener liat kekurangan orang lain dalam segala hal.

Tapi—dan puji Tuhan ada kata “tapi” ini!—Tuhan, dalam anugerah dan kesabaran-Nya yang besar, mengubah aku selama bertahun-tahun. Dari melihat kekurangan orang lain demi mengkritik mereka, aku sekarang melihat kekurangan orang lain demi menolong mereka. Yang muncul bukan keluhan karena orang lain ga sempurna, tapi ucapan syukur karena mereka sudah lebih baik dibandingkan sebelumnya. Dari “hakim”, menjadi pengajar; dari pengkritik, menjadi motivator untuk jadi lebih baik.

Dan itu semua adalah karya Tuhan, karena—seperti yang aku bilang tadi, dari sananya sifatku ga baik. Jadi, kalau orang seperti aku bisa diubah oleh Tuhan, jangan kuatir, ada harapan bagi pembaca semua yang ingin berubah jadi lebih mirip sifatnya Tuhan Yesus. 😉

“Kamu akan Kuberikan hati yang baru, dan roh yang baru di dalam batinmu
dan Aku akan menjauhkan dari tubuhmu hati yang keras
dan Kuberikan kepadamu hati yang taat.
Roh-Ku akan Kuberikan diam di dalam batinmu
dan Aku akan membuat kamu hidup menurut segala ketetapan-Ku
dan tetap berpegang pada peraturan-peraturan-Ku dan melakukannya.”
—Yehezkiel 36:26-27

Leave a comment